Senin, 24 Oktober 2016

Mahkum Fih



1.      Pengertian Mahkum Fih


Mahkum fih disebut juga dengan objek hukum, yaitu sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum (Allah SWT) untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam ulama ushul fiqh, yang disebut mahkum fih atau objek hukukm yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan  dan bukan pada zat.[1] Misalnya daging babi. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan maupun larangan. Berlakunya hukum adalah pada memakan daging babi, yaitu sesuatu perbuatan memakan , bukan pada zat daging babi itu.
Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.[2]Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
            Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya. Hukum wadh’iadalahketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).Hukum  taklifijelas menyangkut perbuatan mukalaf, sedangkan hukum wadh’i ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukalaf seperti tergelincirnya matahariuntuk masuknya kewajiban shalat dzuhur.
2.      Syarat-Syarat Mahkum Fihi
Perbuatan manusia bila telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif.Dengan demikian untuk menentukan apakah seseorang dikenai beban hukum terhadap suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat untuk menjadi objek hukum atau tidak.
Para ahli Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:[3]
1.         Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mengecat langit.
2.         Perbuatan itu tentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap sesuatu perbuatan yang tidak jelas. Misalnya menyuruh seseorang untuk menangkap angin.
3.         Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukalaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya. Seorang mukalaf tidak dituntut melakukan perbuatan kecuali perbuatan yang ia mampu melakukannya.
Perbuatan yang berlaku padanya taklif ditinjau dari segi hubungannya dengan Allah dan hambanya terbagi menjadi empat:
1.         Perbuatan yang merupakan hak Allah secara murni, dalam arti tridak ada sedikit pun hak manusia. Semua ibadah mahdhoh termasuk dalam bentuk ini.
2.         Perbuatan yang merupakan hak hamba secara murni, yaitu tindakan yang merupakan pembelaan terhadap kepentingan pribadi. Misalnya hutang piutang.
3.         Perbuatan yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah lebih dominan. Misalnya pelaksanaan had terhadap penuduh zina.
4.         Perbuatan yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan qishoh terhadap suatu pembunuhan.
Selanjutnya, setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu. Dapat tidaknya taklif itu dilakukan orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini objek hukum terbagi tiga:
1.         Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif, umpamanya shalat dan puasa.
2.         Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif, umpamanya kewajiban zakat.
3.         Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta benda dari pelaku taklif, umpamanya kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda, pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian, pembayaran zakat dapat dilakukan orang lain. Setiap taklif yang berkaitran dengan diri pribadi, harus dilakukan sendiri oleh orang yang dikenai taklif dan tidak dapat digantikan orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat digantikan orang lain pada saat tidak mampu melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan kepada orang lain dalam keadaan tidak mampu.



[1] Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta : Kencana Media Grup, 2011 ), hal. 417.
[2]Syafe’i, Rachmat,  Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 317.
[3]Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta : Kencana Media Grup, 2011 ), hal. 418.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FAKTA ANGGOTA QNET

Bisnis Qnet, yg "KATANYA" bisnis International dunia. tapi kenapa membernya tidak bisa berfikir jernih????