1.
Pengertian Mahkum Fih
Mahkum fih disebut juga dengan objek hukum, yaitu sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum (Allah SWT) untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam ulama ushul fiqh, yang disebut mahkum fih atau objek hukukm yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat.[1] Misalnya daging babi. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan maupun larangan. Berlakunya hukum adalah pada memakan daging babi, yaitu sesuatu perbuatan memakan , bukan pada zat daging babi itu.
Mahkum fih
adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan
perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan,
memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukhsah, sah serta batal.[2]Jadi,
secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih
adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya. Hukum wadh’iadalahketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).Hukum taklifijelas menyangkut perbuatan mukalaf, sedangkan hukum wadh’i ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukalaf seperti tergelincirnya matahariuntuk masuknya kewajiban shalat dzuhur.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya. Hukum wadh’iadalahketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).Hukum taklifijelas menyangkut perbuatan mukalaf, sedangkan hukum wadh’i ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukalaf seperti tergelincirnya matahariuntuk masuknya kewajiban shalat dzuhur.
2.
Syarat-Syarat Mahkum Fihi
Perbuatan manusia bila telah memenuhi syarat sebagai objek hukum,
maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau
taklif.Dengan demikian untuk menentukan apakah seseorang dikenai beban hukum
terhadap suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah
memenuhi syarat untuk menjadi objek hukum atau tidak.
Para ahli Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu
perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:[3]
1.
Perbuatan
itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu
yang tidak mungkin dilakukan seperti mengecat langit.
2.
Perbuatan
itu tentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta
dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap
sesuatu perbuatan yang tidak jelas. Misalnya menyuruh seseorang untuk menangkap
angin.
3.
Perbuatan
itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukalaf dan berada dalam kemampuannya
untuk melakukannya. Seorang mukalaf tidak dituntut melakukan perbuatan kecuali
perbuatan yang ia mampu melakukannya.
Perbuatan yang berlaku padanya taklif ditinjau dari segi
hubungannya dengan Allah dan hambanya terbagi menjadi empat:
1.
Perbuatan
yang merupakan hak Allah secara murni, dalam arti tridak ada sedikit pun hak
manusia. Semua ibadah mahdhoh termasuk dalam bentuk ini.
2.
Perbuatan
yang merupakan hak hamba secara murni, yaitu tindakan yang merupakan pembelaan
terhadap kepentingan pribadi. Misalnya hutang piutang.
3.
Perbuatan
yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah lebih
dominan. Misalnya pelaksanaan had terhadap penuduh zina.
4.
Perbuatan
yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih
dominan. Umpamanya pelaksanaan qishoh terhadap suatu pembunuhan.
Selanjutnya,
setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan
yang dibebani taklif itu. Dapat tidaknya taklif itu dilakukan orang lain
berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini objek
hukum terbagi tiga:
1.
Objek
hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif, umpamanya
shalat dan puasa.
2.
Objek
hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif, umpamanya
kewajiban zakat.
3.
Objek
hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta benda dari pelaku
taklif, umpamanya kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda, pelaksanaannya
dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian, pembayaran zakat dapat
dilakukan orang lain. Setiap taklif yang berkaitran dengan diri pribadi, harus
dilakukan sendiri oleh orang yang dikenai taklif dan tidak dapat digantikan
orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai
taklif dapat digantikan orang lain pada saat tidak mampu melaksanakannya.
Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan kepada orang lain dalam keadaan tidak
mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar