Bung Karno dan Bung Hatta berupaya melakukan upaya diplomatik mendorong tentara sekutu bekerja profesional hanya mengurus tahanan saja dan tidak mengutak ngatik status kemerdekaan Indonesia, namun upaya itu tidak membuahkan hasil.
Bung Karno galau saat itu, beliau menganalisa bila sampai
terjadi peperangan secara sistematis, Indonesia pasti tidak akan bisa
mengalahkan tentara sekutu, karena persenjataan mereka jauh lebih lengkap dan
keahlian militernya lebih memadai.
Atas saran dari Panglima Besar Jenderal Sudirman, Bung Karno
di minta untuk mengirim utusan Khusus kepada Roisul akbar Nadhatul ‘Ulama
(Ketua Umum NU) yaitu Hadrotus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren
Tebu ireng Jombang, Jawa Timur. Untuk meminta fatwa kepada Kyai Hasyim tentang bagaimana
hukum nya berjihad membela negara yang notabene bukan negara islam seperti
Indonesia.
Kyai Hasyim lantas memanggil K.H. Wahab Hasbullah dari
Tambak Beras Jombang. Kyai Wahab di minta untuk mengumpulkan para Ketua NU se
Jawa-Madura untuk membahas persoalan ini, bukan hanya itu saja, mbah Kyai
Hasyim juga meminta kepada para Kyai-Kyai Khos (utama) NU, untuk melakukan
Sholat istikhoroh, salah satunya adalah mbah Kyai Abbas dari Pon-Pes Buntet
Cirebon Jawa Barat. 22 oktober 1945 seluruh Delegasi NU Sejawa & Madura
telah berkumpul di Kantor Pusat Ansor di Jl. Pungutan surabaya.
Kyai Hasyim langsung memimpin pertemuan tersebut dan
kemudian di lanjutkan oleh Kyai Wahab. Setelah berdiskusi yang cukup panjang
dan mendengarkan hasil istikhoroh para kiyai utama NU, pada esok siangnya
tanggal 22 oktober 1945 pertemuan menghasilkan 3 rumusan penting yang kemudian
di kenal dengan istilah RESOLUSI JIHAD NU Isinya :
1.
Setiap muslim, tua, muda dan miskin sekalipun wajib
memerangu orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
2.
Setiap pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan adalah
syahid fi sabilillah.
3.
Warga yang memihak Belanda dianggap memecah belah kesatuan
dan persatuan, wajib dihukum mati.
Resolusi
Jihad tersebut ditulis dalam huruf arab berbahasa jawa atau biasa disebut huruf
pegon dan ditandatangi oleh K.H Hasyim Asy’ari, lalu di sebarluaskan keseluruh
jaringan pesantren, para Komandan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah di seluruh
penjuru Jawa dan Madura.
Dokument
Resolusi Jihad juga di muat dalam sejumlah media masa pergerakan pada masa itu.
Hanya berselang 3 hari pasca Resolusi Jihad di cetuskan, 6.000 tentara sekutu
mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan persenjataan lengkap.
Mendengar
kedatangan pasukan penjajah, ribuan santri dan para Kyai se-Jawa Timur bergerak
menuju Surabaya mengawal kemerdekaan dan menunjukkan sikap anti penjajah.
Situasi pun terus memanas dan cenderung tidak terkendali. Resolusi Jihad NU
telah memompa semangat perlawanan rakyat dan memicu terjadinya pertempuran
hebat selama 3 hari 3 malam di Surabaya, tanggal 27 sampai tanggal 29 oktober
1945.
Tentara
Inggris kewalahan menghadapi perlawanan Rakyat Jawa Timur. Inggris lantas
mendatangkan Soekarno ke Surabaya untuk di ajak berunding melakukan gencatan
senjata. Pagi hari tanggal 30 oktober gencatan senjata di tandatangani
pemerintah Indonesia dan Inggris, namun pada sore harinya terjadi insiden di
jembatan merah yang menewaskan orang no.1 tentara inggris di surabaya yaitu
Jenderal Malaby, gencatan senjata pun langsung berakhir.
Pengganti
Jenderal Mallabi yaitu Jendral Robert Mansion mengultimatum laskar pejuang dan
tentara Indonesia agar menyerahkan senjata kepada inggris paling lambat 10
november 1945, jika tidak inggris mengancam akan membumi hanguskan Surabaya dan
membombardir dari 3 arah sekaligus laut, darat dan udara.
Mendengar
ancaman itu, para komandan Laskar Hizbullah, Sabilillah, Mujahidin dan TKR
membulatkan tekad untuk melawan daripada menyerah. Seorang pemuda bernama
Soetomo atau yang lebih akrab di panggil Bung Tomo sowan kepada Kiyai Hasyim,
meminta izin untuk menyebarluaskan Resolusi Jihad melalui Radio.
Maka pada
malam harinya, Bung Tomo berpidato dan mengobarkan semangat jihad pada
masyarakat dan laskar di Surabaya. K.H. ahmad Muchid Muzadi (Pemuda Anshor 1945
dari Jember Jawa Timur) Mengatakan : “Hai.. Tentara inggris, ayo kita
berperang, kita ini tidak takut, kalau mati kita syahid, kalau hidup, kita akan
menjadi bangsa yang merdeka”.
Pasukan
terdepan yang bertempur di Surabaya adalah:
1. Laskar Hizbullah yang di pimpin oleh
K.H. Zainal Arifin, dari Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Wafat di Jakarta.
2. Laskar Sabilillah yang di pimpin
oleh K.H. Masykur, dari Pon-Pes Mishbahul Wathon (Pelita Tanah Air) Singosari
Malang Jawa Timur.
3. Barisan Mujahidin Indonesia yang di
pimpin oleh K.H. Wahab Hasbullah Pon-Pes Tambak beras Jombang Jawa Timur.
4. PETA Sebagian besar Batalionnya di
pimpin oleh Para Kyai NU.
5. Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Resolusi
Jihad NU (Sejarah yang terlupakan) Cukup di sayangkan, karena Resolusi Jihad NU
22 Oktober 1945 Tidak tercatat dalam Sejarah Resmi Indonesia. Ada upaya untuk
menghilangkan jejak peran para Santri dan Kyai dalam memperjuangkan
kemerdekaan. Hal itu di duga terkait dengan kebijakan Rasionalisasi,
Nasionalisasi dan Modernisasi TKR, yang mengakibatkan para Milisi Hizbullah dan
Laskar Santri terdepak dari TKR.
Walau
sedikit kecewa pada pemerintah saat itu, tapi para pejuang NU tetap sadar bahwa
mereka berjuang bukan untuk pemerintah, tapi membela negara dan tanah air,
mereka tetap setia dengan Resolusi Jihad dan tetap selalu menjaga serta membela
NKRI. Mereka tidak pernah berfikir untuk melawan pada pemerintah yang sah,
apalagi memberontak dan KUDETA. Bahkan mereka berperang lagi menghadapi Agresi
Militer Belanda tahun 1947-1948.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar