1.
Pengertian Mahkum Alaih
Mahkum ‘alaihatau subjek hukum adalah mukallaf yang perbuatannya berkaitan (menyangkut) dengan hukum
syara’.[1]
Yaitu orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Dengan kata lainmahkum alaihi adalah orang yang kepadanya diberlakukan hukum.
Yaitu orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Dengan kata lainmahkum alaihi adalah orang yang kepadanya diberlakukan hukum.
Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa
mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab
Allah, yang disebut mukallaf.[2]Disebutkan pula bahwa mahkum
alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala
tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai
orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut
juga mahkum alaih (subjek hukum).Mukallaf adalah orang yang teklah dianggap
mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun
larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta
pertanggung jawaban, baik di dunia maupun akhirat.
Jadi,
secara singkat kami simpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang
perbuatannya menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah.
2.
Syarat Mahkum
Alaihi
Seperti yang
sebelumnya diterangkan bahwa definisi hukum taklif adalah titah Allah yang
menyangkut perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan tuntutan atau pilihan
untuk berbuat. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ada dua hal yang
harus terpenuhi pada seseorang untuk dapat disebut mukalaf, yaitu bahwa ia
mengetahui tuntutan Allah itu dan bahwa ia mampu melaksanakan tuntutan
tersebut. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Ia
memahami atau mengetahui titah Allah bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Baik
memahami secara langsung dalil-dalil taklif maupun melalui perantaraan orang
lain. Umat Islam yang sudah baligh dan berakal dianggap mengetahui hukum Allah,
sehingga kepadanya telah berlaku taklif.
2. Mukallaf haruslah ahli
atau layak untuk dikenakan taklif. Ahli yang dimaksud terbagi menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Ahliyyah Wujub adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan
memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b.
Ahliyyah Ada’ yaitu kecakapan bertindak
hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan
seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal ini berarti
bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah
mempunyai akibat hukum.[3]
Ahliyah wujub sendiri dibagi
lagi menjadi dua, yaitu:
1.
Ahliyah
al wujub naqish adalah
kecakapan yang dikenai hukum secara lemah.
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak menerima
kewajiban. Seperti bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin ini telah
menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir.
Tetapi bayi ini tidak dibebani kewajiban apa-apa. Dan kecakapan untuk dikenai
kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Seperti orang yang mati tetapi
masih meninggalkan hutang.
2.
Ahliyah
al-wujub kamilah adalah
kecakapan yang dikenai hukum secara sempurna. Yaitu kecakapan seseorang untuk
dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan ini berlaku sejak lahir
sampai meninggal dunia. Sepeti anak yang baru lahir, disamping ia berhak atas
harta warisan dari orang tuanya, ia juga dikenai kewajiban membayar zakat.
Sedangkan ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat.Setiap
tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu
adalah:
1.
‘Adim
al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir
sampai mencapai umur tamyiz (sekitar umur 7 tahun). Dalam batas ini,
seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu
dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut
mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ucapan dan perbuatannya juga
tidak mempunyai akibat hukum.
2.
Ahliyah
al-ada’ naqishah atau cakap
berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz sampai dewasa. Penamaan naqishah (lemah)
dalam bentuk ini oleh karena akalnya
masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang
sempurna. Dalam hal ini, tindakannya dan ucapannya terbagi kepada tiga tingkat,
yaitu:
a.
Tindakan
yang semata-mata menguntungkan kepadanya, umpamanya menerima pemberian (hibah)
dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun
perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
b.
Tindakan
yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya,
umpamanya pemberian yang dilakukannya, baik dalam bentuk hibah atau sedekah,
pembebasan hutang. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan
tidak sah atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
c.
Tindakan
yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual beli, sewa menyewa, dan
lain-lain yang di satu pihak mengurangi haknya dan di pihak lain menambah hak
yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak batal secara
mutlak tetapi dalam kesahannya tergantung kepada persetujuan yang diberikan
oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
Tindakan mumayiz dalam hubungannya dengan ibadah adalah sah
karena ia cakap dalam melakukan ibadah, tetapi ia belum dituntut secara pasti
karena ia belum dewasa.
3.
Ahliyah
al-ada’ kamilah atau cakap
berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa
atau aqil baligh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar