Kamis, 27 Oktober 2016

Mahkum Alaih



1.      Pengertian Mahkum Alaih
Mahkum ‘alaihatau subjek hukum adalah mukallaf yang perbuatannya berkaitan (menyangkut) dengan hukum syara’.[1] 

Yaitu orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu.  Dengan kata lainmahkum alaihi adalah orang yang kepadanya diberlakukan hukum.
Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf.[2]Disebutkan pula bahwa mahkum alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum).Mukallaf adalah orang yang teklah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung jawaban, baik di dunia maupun akhirat.
            Jadi, secara singkat kami simpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah.

2.      Syarat Mahkum Alaihi
Seperti yang sebelumnya diterangkan bahwa definisi hukum taklif adalah titah Allah yang menyangkut perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan tuntutan atau pilihan untuk berbuat. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapat disebut mukalaf, yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah itu dan bahwa ia mampu melaksanakan tuntutan tersebut. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.      Ia memahami atau mengetahui titah Allah bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Baik memahami secara langsung dalil-dalil taklif maupun melalui perantaraan orang lain. Umat Islam yang sudah baligh dan berakal dianggap mengetahui hukum Allah, sehingga kepadanya telah berlaku taklif.
2.      Mukallaf haruslah ahli atau layak untuk dikenakan taklif. Ahli yang dimaksud terbagi menjadi dua bagian,  yaitu:
a.       Ahliyyah Wujub adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b.      Ahliyyah Ada’ yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum.[3]

Ahliyah wujub sendiri dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ahliyah al wujub naqish adalah kecakapan yang dikenai hukum secara lemah.  Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban. Seperti bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin ini telah menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Tetapi bayi ini tidak dibebani kewajiban apa-apa. Dan kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Seperti orang yang mati tetapi masih meninggalkan hutang.
2.      Ahliyah al-wujub kamilah adalah kecakapan yang dikenai hukum secara sempurna. Yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan ini berlaku sejak lahir sampai meninggal dunia. Sepeti anak yang baru lahir, disamping ia berhak atas harta warisan dari orang tuanya, ia juga dikenai kewajiban membayar zakat.
Sedangkan ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat.Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
1.      Adim al-ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz (sekitar umur 7 tahun). Dalam batas ini, seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ucapan dan perbuatannya juga tidak mempunyai akibat hukum.
2.      Ahliyah al-ada’ naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz  sampai dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini  oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Dalam hal ini, tindakannya dan ucapannya terbagi kepada tiga tingkat, yaitu:
a.       Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya, umpamanya menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
b.      Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya, umpamanya pemberian yang dilakukannya, baik dalam bentuk hibah atau sedekah, pembebasan hutang. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan tidak sah atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
c.       Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain yang di satu pihak mengurangi haknya dan di pihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahannya tergantung kepada persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
Tindakan mumayiz  dalam hubungannya dengan ibadah adalah sah karena ia cakap dalam melakukan ibadah, tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia belum dewasa.
3.      Ahliyah al-ada’ kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa atau aqil baligh.



[1]Bakri,Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1991) hal. 158.
[2]Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Jakarta : Kencana Media Grup, 2011 ), hal. 424.
[3]Sutrisno, Ushul Fiqh, (Jember: STAIN Press, 1999), hal. 106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FAKTA ANGGOTA QNET

Bisnis Qnet, yg "KATANYA" bisnis International dunia. tapi kenapa membernya tidak bisa berfikir jernih????